Oleh : Lina Herlina
Hari ini, Onie berlibur di rumah Nenek. Nenek senang sekali
ketika Onie menginap di rumah Nenek. Karena Nenek mempunyai teman melakukan
aktivitas sehari-harinya, seperti membaca Al-Qur’an setiap hari.
Setiap pagi selepas solat subuh, mereka membaca Al-Qur’an.
Bacaan Al-Quran Nenek, kadang di koreksi oleh Onie, begitu juga sebaliknya.
Bacaan Onie di koreksi oleh Nenek.
“Lah, Nek, ini dibacanya ditekan dua harkat dan dengung,
bukannya ini huruf ikhfa,” kata Onie.
“Oh, iya iya, kamu betul Onie,” kata Nenek, sambil
mangut-mangut.
Sesekali Nenek juga membetulkan bacaan Onie.
“Eit, itukan ‘la’ panjang Onie, kok di baca pendek,” kata
Nenek.
Giliran Onie yang kini diam. “Huruf la dengan kasroh bertemu
dengan alif mati... oh iya, itu harus panjang bacanya, dua harakat,” gumam
Onie.
Onie mengulangi membacanya. Dan akhirnya mereka mungucap,
“shodakollohuladziim....”
Selesai mereka membaca, Nenek segera ke dapur menyiapkan
sarapan. Nenek meletakkan kacamatanya di atas meja, tepat di samping Al-Quran.
Kacamata dengan bingkai warna pelangi itu, menarik perhatian
Onie. Onie segera mengambilnya, membolak-balik dan memperhatikan lapisan tebal
di kacamata Nenek.
“Loh kok ini ada yang tebal...dan ini tipis,” pikir Onie.
Lalu Onie mencoba kacamata Nenek. Membuka tangkainya dan tiba-tiba....
Trak! Tangkai kacamatanya lepas! Onie kaget sekali.
“Duuh, gimana nih, apa yang harus aku lakukan, aku takut
kalau Nenek marah. Nenek itu kalau marah, akan terus berbicara, dan juga....”
Onie melempar satu tangkai kacamatanya yang lepas. Tangkai itu mendarat tepat
di bawah kolong kursi.
Lalu kacamatanya Onie simpan di kamarnya. Onie menyalakan
televisi dan menontonnya sambil gelisah.
Tidak lama, Nenek memanggil Onie. Di tangan Nenek Nasi goreng
istimewa. Onie berlari mendekati nenek.
“Wow, nasi goreng Nenek bertabur ayam dan keju,” seru Onie. Onie sampai
lupa dengan ketakutannya perihal kerusakan kacamata Nenek.
Selesai makan, perasaan bersalah kembali menghantui Onie.
Onie ragu ingin berkata yang sebenarnya. “Kalau, nanti bilang.... kalau tidak
bilang....duuh...” Onie semakin takut, melihat nenek mendekati ruang tengah,
tempat membaca al-quran tadi.
“Onie, Onie.” Suara nenek mengagetkan Onie.
Onie terperanjat. “Wah, jangan-jangan Nenek menanyakan
kacamata itu,” pikir Onie.
“Onie sini Nak, tolong ambilkan lap, air Nenek tumpah,” seru
Nenek.
Onie bernafas lega. “kirain, tanya kacamatanya,” gumam Onie.
Onie segera menghampiri Nenek dengan membawa lap di
tanggannya. Nenek lalu melap meja, dan memindahkan Al-Quran ke kursi.
“Loh kok, kacamata Nenek tidak ada, bukannya tadi di simpan
di samping Al-Quran,” kata Nenek.
Deg! Jantung Onie berdegup lebih cepat.
Nenek menatap Onie. Dan Onie menggelengkan kepala. “Onie
tidak....tidak...,” kata Onie, suaranya terhenti. “Astaghfirullah, kenapa kok
aku jadi mau berbohong,” gumam Onie.
“Kenapa Onie, tidak apa-apa kalau kamu tidak tahu, nanti
Nenek cari, mungkin tadi Nenek lupa menyimpan, Nenek kan sering lupa hehe,
maklumlah sudah tua,” jelas nenek sambil tertawa, sambil melangkah ke dapur.
Oni menelan ludah. Suaranya seperti tercekat. Kakinya sulit
melangkah. Yang ada dalam benaknya, kini dia mengejar Nenek ke dapur, lalu
mengatakan kalau kacamata itu dia sembunyikan, dan yang pasti kacamata
itu...rusak.
“Di dapur tidak ada, di kamar juga tidak ada, tidak apalah
mudah-mudahan besok pagi sudah ketemu, biar bisa membaca Al-Quran lagi bersama
Onie.” Suara Nenek terdengar samar.
Onie semakin merasa bersalah. Onie menepiskan ketakutan itu
dan kembali menonton televisi. Lalu menarik nafas panjang. Namun tetap saja
pikirannya tidak tenang. “Kalau begini terus, tidak nyaman, jadi aku harus...”
Onie berlari ke kamar melihat kacamata nenek yang dia simpan,
lalu mengambil tangkai kacamata di bawah kursi.
Onie menghampiri nenek. Tangannya kini memegang kacamata
Nenek yang rusak.
“Nek, maaf, sebenarnya kacamata Nenek, Onie sembunyikan tadi.
Maaf Nek, tangkainya tidak sengaja lepas,” kata Onie, tertunduk takut sambil
memberikan kacamatanya kepada nenek.
Nenek malah tersenyum. Lalu Nenek keluar. Onie mengikuti
nenek. Rupanya Nenek mencari tempat terang. Nenek memasang kembali tangkai
kacamatanya yang lepas. Dalam sekejap kacamata Nenek sudah baik kembali.
“Selesai,” seru Nenek mengagetkan Onie. “Nih, tangkainya cuma
lepas saja, sebenarnya kamu juga bisa kok membetulkannya.”
“Oh, jadi bisa dibetulkan lagi nek, alhamdulillah, maafkan
Oni ya Nek,”pinta Onie.
“Tidak, apa-apa Onie, terimakasih kamu sudah mengatakan yang
sebenarnya, coba kalau kamu tidak bilang, waah, Nenek bakal sulit membaca,”
jelas Nenek.
Nenek berhambur kepelukan Nenek, “Terimaksih Nek,” bisik Onie
pelan.***
Cucu yang jujur, bagus, menanamkan anak2 agar berbuat jujur :)
BalasHapusIya mbak ini tentang kejujuran, ternata jujur itu indah pada akhirnya hehe...
Hapus